Perlu Kluster Bentuk Kekerasan dalam Revisi UU PA
Anggota Komisi VIII DPR Ingrid Kansil menilai perlunya kluster bentuk kekerasan terhadap anak. Hal tersebut diungkapkannnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Komisi VIII DPR dengan Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Deputi bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya, serta Unit PPA Polda Jabar, Senin (23/6).
“Jika berkiblat pada UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang berkaitan dengan klausul kekerasan, setidaknya ada tiga kluster bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, psikis dan seksual. Setidaknya bentuk kekerasan ini kurang lebih juga sama yang diperoleh oleh anak-anak kita. Jadi menurut saya menjadi satu hal yang wajib ada di dalam revisi UU Perlindungan Anak ini masukan terhadap klausul bentuk-bentuk kekerasan,”ungkap Ingrid.
Selain itu Ingrid juga menyoroti kasus kekerasan pada anak bukan hanya dilakukan orang dewasa namun juga sesama anak. Hal ini memberi gambar baru bahwa kekerasan dan kejahatan bukan hanya dilakukan orang dewasa namun teman sebaya lainnya. Sehingga untuk penanganannya harus dibedakan dengan pelaku anak dan pelaku dewasa, karena kalau dilakukan oleh anak-anak maka yang diberlakukan adalah undang-undang sistem peradilan anak.
Menanggapi hal itu AKBP Eny dari Unit PPA Polda Metro Jaya mengatakan bahwa pihaknya setuju untuk pembuatan kluster atas kekerasan terhadap anak. Karena sebagaimana UU NO.23 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak Indonesia, ada tiga bentuk kekerasan, yaitu fisik, psikis, seksual dan penelantaran.
“Kalau dalam draft revisi UU ini saya tidak melihat secara jelas kluster atau pembagian bentuk kekerasan tersebut,”ungkap Eny.
Ditambahkannya, penanganan hukuman anak yang notabene menjadi pelaku kekerasan seksual juga perlu disesuaikan terhadap anak. Tidak hanya, orantua atau keluarga juga wajib melakukan pendampingan terhadap anak.
Eny juga mencermati draft revisi UU Perlindungan anak yang tengah digodok di DPR ini, di dalamnya tidak terdapat aturan atas delik aduan. Dengan kata lain semua yang tercantum dalam UU tersebut termasuk delik murni, yang artinya tidak dapat dicabut atau harus dilanjutkan hingga persidangan.
“Kalau hanya pelanggaran ringan misalnya didorong, karena tidak ada delik aduan, maka hal itu harus tetap diproses atau lanjut ke persidangan. Kasus lain misalnya memperlihatkan foto (pornografi) apa iya hal tersebut harus lanjut ke persidangan? Semoga hal ini dapat menjadi pertimbangan juga,”harapnya.(Ayu/Zah), foto : eka hindra/parle/hr.